Makalah
TAREKAT SYATTAR’YYAH
Diajukan untuk melengkapi tugas Ahlak Tasawuf
OLEH:
Iskandar :
531202847
Slamet riyadi :
531202834
Hijra tuddin :
531202842
Mukhlis :
531202845
Abdul malik :
5312028
Al ashab :
531202855
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA
ACEH
2013
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT. Semoga kita
semua selalu mendapat rahmat-Nya. Salawat dan salam kita persembahkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan
sahabat-sahabat belaiau. Kami bersyukur atas petunjuk dan hidayah Allah SWT
pada akhirnya berhasil juga menyusun makalah yang berjudul “Tarekat Syattariyyah”
makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ahlak Tasawuf .
Makalah ini
dapat dijadikan sebagai bahan bacaan tentang Tarekat Syattariyyah. Sepanjang
pengamatan penulis yang pendek ini, makalah yang khusus menguraikan Tarekat
Syattariyyah. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar
Ilmu perpustakaan dan Informasi.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Dosen kami yang telah membimbing dan semua
pihak yang telah ikut berpartisipasi untuk selesainya makalah ini, semoga Allah
SWT membalasnya dengan pahala yang belipat ganda. Kami menyadari bahwa
keseluruhan uraian di dalam makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami akan
terus memperbaikinya. Saran dan kritik yang bersifat perbaikan dan penyempurnaan
akan diterima dengan segala senang hati.
Akhirnya kepada
Allah SWT kita berserah diri semoga apa yang kita lakukan ini ada manfaatnya.
Darussalam, 1 Juli
2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang................................................................................... .... 1
1.2.
Rumusan Masalah................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Akar Historis Dan Ajaran Syattariyah.................................................... 3
2.2.
Ajaran Zikir
Tarekat Syattariyyah........................................................... 6
2.3.
Tentang
Talqin........................................................................................ 6
2.4.
Baiat dan
Tata Caranya........................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan............................................................................................. 13
3.2. Saran....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dalam konteks dunia
Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran penting, terutama
karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang bersorak
tasawuf, sehingga karenanya tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf
senantiasa dijumpai di wilayah manapun di Melayu-Indonesia ini Islam
berkembang.
Pada makalah ini, penulis akan
mencoba membahas salah satu Tarekat Muktabaroh, yakni Tarekat Syattariyah,
dimulai dari melacak sejarahnya, ajarannya, penyebarannya dan seorang biografi
penyebar di Indonesia yakni Abdur Rauf al-Sinkli, meskipun tidak komprehensif.
Tarekat Syattariyah yang merupakan
salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses islamisasi di dunia
Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu
tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke
berbagai wilayah di dunia Melayu-IndonEsia. Diantara murid-murid al-Sinkli
adalah Syeikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syeikh Abdul
Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya berhasil mengembangkan
Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.
Kebenaran
aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik
perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai
ajaran yang sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai
dengan syariat Islam. Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan
karena dua hal: pertama, mereka berasal dari kelompok aliran tersebut sehingga
penilaiannya bersifat subjektif. Kedua, ulama yang memberikan pandangannya itu
dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan penganutnya, dengan asumsi bahwa
ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar tetapi penganutnya yang
diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.
Berdasarkan data-data yang ada, maka
penulis merasa perlu mengadakan pembahasan lebih dalam terhadap tarekat
Syattariyah, meskipun sepenuhnya adalah kajian teks-teks yang sudah itulis oleh
ahlinya. Dengan harapan agar kajian ini
berfaedah bagi pembangunan bidang spiritual, khususnya bagi penulis.
Itulah
sekilas tentang Tarekat Syattariyah, lebih lanjut tentang Tarekat Syattariyah
insya Allah akan dibahas dalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa menambah
khazanah keilmuan kita tentang dunia tarekat.
1.2. Rumusan
masalah
Dalam
makalah ini kami akan merumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi landasan
dalam pembuatan makalah ini antara lain:
1)
Sejarah perkembangan tarekat
syattariyah?
2)
Toko-tokoh besar dalam perkembangan
tarekat syattariyah?
3)
Akar ajaran tarekat syattariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Akar Historis Dan Ajaran Syattariyah
Secara kelembagaan, tarekat pada
dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M.
artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai
hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal,
termasuk pada masa nabi. Tidak heran
jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada
nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah
masa nabi[1].
Demikian halnya dengan Tarekat
Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari
(w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan
dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama
yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyan.[2]
Awalnya
tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama
Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai
tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah
tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini
dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki
karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.
Nisbah asy-Syatar yang berasal dari
kata Syatara artinya membelah dua dan nampaknya dibelah dalam hal ini adalah
kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha
(itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang
dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan
wewenang sebagai washitah (mursyid).
Namun karena popularitas tarekat
isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar
akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke
India oleh gurunya tersebut. Semula ia
tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah
Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan
tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan
nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas
inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal
kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di
India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar,
Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad
Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan
dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang
berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan
keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India
dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin
Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di
Madinah. Tarekat ini kemudian disebar
luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi.
Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk
kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi.
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil
menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang
terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim
al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah
ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila
Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat
al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin
Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin[3].
Abdul Rauf sendiri yang kemudian
turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini,
menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika
melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap
di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli
tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan
mengembangkan tarekatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui
murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya,
di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi.
Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah
yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul
Khalwati (1629-1699).[4]
Martin
menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan
Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini,
lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi
setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai
tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan
metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran
martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.[5]
2.2. Ajaran
Zikir Tarekat Syattariyyah
Dalam kitab al-simt al-majid, Syaikh
Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattahriyyah di haramayn, menjelaskan
berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk didalamnya
Tarekat Syattariyah.[6] Kitab
ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi
tuntunan tentang tata cara zikirnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama
bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Oleh
karenanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara
baiat dan talqin tersebut, bahkan al-Qusyasyi membedakan antara tata cara baiat
bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Menurut Qusyasyi, tata cara zikir,
baiat, dan talqin yang dikemukakannya itu tidak khusus bagi para penganut
Tarekat Syattariyyah saja, melainkan bagi semua al-muridin li al-suluk,
siapapun yang menempuh dunia tasawuf. Ini bisa dimaklumi karena al-Qusyasyi
memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin jenis tarekat, meskipun ia
lebih menonjol peranannya dalam penyebaran Tarekat syattariyyah ke berbagai
penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia. Meski
demikian, dikemudian hari, model zikir, baiat, dan talqin yang dikemukakan
al-Qusyasyi ini hampir secara keseluruhan di ikuti oleh para ulama Tarekat
Syattariyyah di dunia Melayu-Indonesia.
2.3. Tentang Talqin
Talqin merupakan langkah yang harus di lakukan
terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani
dunia tasawuf (suluk).
Menurut
al-Qusyasyi, di antara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu
menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam
dalam keadaan suci (berwudhu).
Dalam
setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunat sebanyak enam rakaat, dengan
tiga kali salam. Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama dari dua rakaat
pertama, setelah surah al-Fatihah, membaca surah al-qadr dua kali. Pahala
shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat
pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat
kedua, setelah surah al-fatihah membaca surah al-kafirun lima kali, dan
pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya.
Terakhir,
pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-fatihah membaca
surah al-ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca
surah al-ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru
tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini
kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.
2.4. Baiat dan Tata Caranya
Setelah
menjalani talqin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjalani
suluk adalah baiat. Secara hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan
kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada
syaikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya (al-Simt
al-Masjid, h. 36 ). Seorang murid yang telah mengikrarkan diri masuk kedalam
dunia tarekat tersebut.
Dalam
dunia tarekat, baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari seorang
murid kepada syaikhnya, karena syaikhnya adalah perwakilan dari Nabi yang
diyakini tidak akan membawa kepada kesesatan. Kendaki demikian, maka
al-Qusyasyi tidak menganjurkan untuk mematuhinya, karena masuk kepada dunia
tarekat sama artinya dengan masuk pada kewajiban syariat.
Meskipun teknis dan tatacara bai’ah dalam berbagai
jenis tarekat sering kali bebeda satu sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga
hal penting yang harus dilalaui oleh seorang calon murid yang akan melakukan
bai’ah yakni: talqin al-uikr (mengulang-ulang zikir tertentu ), akhu al-‘ahd
(mengambil sumpah), dan libs al-khirqah (mengenakan jubah).
Dalam
tahap talqan al-zikir, selama beberapa hari calon murid diminta mebgulang-ulang
kalimat zikir la ilaha illah hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang
sunyi; kemudian, dia diminta memberikan “laporan) kepada syaikhnya berkaitan
dengan firasat atau mimpi yang barangkali dia alami; berdasarkan laporan
tersebut sang syaikh akan menentukan apakah calon murid tersebut sudah boleh menerima
kalimat zikir berikutnya. Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa secara
keseluruhan, ada 7 kalimat zikir yang harus dilalui oleh seorang calon murid
dalam tahap talqin al-uikr, yaitu: la illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, Ya Haqq,
Ya Hayy, Ya Qayyum, dan Ya Qahhar.
Kemudian,
hal berikutnya yang harus dilalui dalam proses baiat adalah akhu al-‘ahd, yakni
mengambil sumpah. Pada dasarnya, rumusan kalimat sumpah seorang calon murid
dalam setiap jenis tarekat berbeda-beda satu dengan yang lain, kendati semuanya
mengisyaratkan pada ikrar kesetiaan daro calon murid tersebut untuk patuh
kepada syaikhnya, dan kepada berbagai aturan serta tuntunan tarekat yang
diajarkan. Selain itu, dalam bai’ah, apapun jenis tarekatnya, ada satu ayat
al-Quran yang senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari lafaz bai’ah. Ayat
yang dikenal sebagai ayat al-mubaya’ah itu merupakan kutipan dari ayat ke-10
dari al-Qur’an surah al-Fath yang berbunyi:
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
`yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR (
ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
“ Bahwasanya orang-orang yang berjanji
setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan
Allah di atas tangan mereka[1397], Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala
yang besar.”
Terakhir,
hal yang biasa dilakukan dalam proses baiat adalah libs al-khirqah, yakni sang
syaikh memberikan dan mengenakan jubah
(khirqah) kepada murid yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda
masuknya murid tersebut ke dalam organisasi tarekat. Selain itu, khirqah juga
diberikan kepada murid yang dianggap telah menyelesaikan perjalanan spiritual
(sulnk)-nya.
Proses
inisiasi melalui bai’ah ini sedemikian penting dan menentukan dalam organisasi
tarekat, karena bai’ah mengisyaratkan terjalinnya hubungan yang tidak akan
pernah putus antara murid dengan mursyidnya. Begitu bai’ah diikrarkan, maka
sang murid dituntut untuk mematuhi berbagai ajaran dan tuntunan sang mursyid,
dan meyakini bahwa mursyidnya itu adalah wakil dari Nabi. Lebih dari itu,
bai’ah juga diyakini sebagai sebuah bentuk perjanjian antara murid sebagi hamba
dengan al-Haq sebagai Tuhannya.
Seorang
murid yang telah secara resmi menjadi anggota tarekat akan memulai perjalanan
spiritual (sulnk) nya dengan mempelajari berbagai ilmu tasawuf. Dalam dunia
tarekat, tidak ada ketentuan tentang berapa lama orang lain, karena hal itu
sangat tergantung kepada kemampuan sang murid sendiri dalam menjalani berbagai
tahapan pengalaman spiritual ( maqamat) hingga sampai pada pengetahuan tentang
al-Eaqlqat ( kebenaran Ilahi ). Beberapa murid bisa saja menyelesaikan
pelajaran mistisnya dalam waktu singkat, sementara murid lain mungkin lebih
lama.
Biasanya,
sang murid lah yang nantinya menentukan murid mana yang sudah bisa dianggap lulus
dalam pelajaran spiritualnya. Jika seorang murid telah dianggap sampai pada
tingkat tertentu. Dalam memahami pengetahuan tentang al-Haqiqat, maka sang
murid akan mengangkatnya sebagai khalifah, yang prosesi pengangkatannya
biasanya ditandai dengan pemberian Ijazah (otorisasi, atau lisensi).
Penting
dicatat bahwa dalam dunia tarekat, selain jenis Ijazah yang diberikan kepada
seorang murid yang naik derajatnya menjadi khalifah tersebut, juga terdapat dua
jenis Ijazah lain yang bobotnya lebih ringan., yakni Ijazah yang diberikan
kepada seorang murid yang sudah di izinkan untuk mengamalkan ritual atau zikir
tertentu yang diajarkan oleh mursyidnya; dan Ijazah yang diberikan kepada
seorang murid yang dianggap telah menyelesaikan tahap tertentu dari ajaran
tarekat dari mursyidnya itu, Berbeda dengan yang pertama, dua jenis Ijazah
yanfgf disebut terakhir ini tidak memberikan wewenang kepada yang menerimanya
untuk menahbiskan orang lain menjadi anggota tarekat, melainkan hanya untuk
yang bersangkutan saja.
Sejauh
ini, tampaknya tidak ada rumusan kalimat tertentu yang dianggap baku dalam
sebuah Ijazah, kendati umumnya berisi penegasan bahwa Syaikh tertentu
(disebutkan nama lengkapnya ) telah mengangkat murid tertentu (disebut pula
nama lengkapnya) menjadi khalifah, dan oleh karenanya murid tersebut memiliki
wewenang penuh menyampaikan ajaran Tarekat, dan bahkan menakbiskan seseorang
menjadi murid.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh
macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam
Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia.
Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan
sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam
dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir
thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu
kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di
bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam
hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat
bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi
itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara
nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti
memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir
itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan
ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu
Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada,
tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir
Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada
dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini
dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir
Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait
al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar
seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya
Ilahi.
7. Dzikir Isim
Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan
kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam
Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di
atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah
terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)".
Khusus dzikir dengan nama-nama
Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga
kelompok. Yakni,
a)
menyebut
nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar,
al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;
b)
menyebut nama Allah SWT yang berhubungan
dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan
c)
menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan
gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan
lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan,
sesuai urutan yang disebutkan di atas.
Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan
berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir.
Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas
segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam
tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui
bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual
ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua
realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia
pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa
diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam
mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat
Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat
memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun
(memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan
kamilun (sempurna dan menyempurnakan).
Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting
untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai
berikut:
a)
makanan yang dimakan haruslah
berasal dari jalan yang halal;
b)
selalu berkata benar;
c)
rendah hati;
d)
sedikit makan dan sedikit bicara;
e)
setia terhadap guru atau syekhnya;
f)
kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
g)
selalu berpuasa;
h)
memisahkan diri dari kehidupan
ramai;
i)
berdiam diri di suatu ruangan yang
gelap tetapi bersih;
j)
menundukkan ego dengan penuh
kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri;
k)
makan dan minum dari pemberian
pelayan;
l)
menjaga mata, telinga, dan hidung
dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram;
m)
membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu,
dan bangga diri;
n)
mematuhi aturan-aturan yang
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan
memakai pakaian berjahit.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Demikianlah, hingga saat ini,
Tarekat Syattariyah masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia, dan
menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi antara
ajaran tasawuf dengan ajaran syariat, atau apa yang disebut sebagai
neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa
awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyah masih dapat bertahan
di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.
Makalah ini
dibuat secara global saja, artinya hanya sebagai pembuka wacana bagi yang
tertarik untuk menggali informasi lebih dalam lagi tentang Syattariyah. Karena
pembahasan tentang Syattariyah sangatlah luas, di Indonesia dikenal tokoh-tokoh
penyebat tarekat syattariyah seperti Syeh Abdur Rauf as-Sinkli, syeh Abdul
Muhyi Pamijahan, Syeh Burhanuddin Ulakan dan lain-lain yang mengembangkan
Tarekat Syattariyah ini nusantara, dan hal itu tidak dibahas banyak disini.
Sebagai
penulis, saya memohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah
ini. Demikianlah telah kita torehkan, semoga bisa kita pertanggungjawabkan. Fal-haqqu
ahaqqu ay-yuttaba’. Ma’as salamah! Happy ending full barokah.
Wallahu A’lam.
3.2.Kritik Saran
Dizaman
modern ini manusia kurang sekalimemperhatikan hal-hal yang menyangkut akhirat,
manusia lupa siapa yang menciptakan dirinya, dunia beserta isinya, manusia
terlena akan kecanggihan teknologi sebenarnya belum terlambat untuk bertaubat
dan banyak jalan untuk melaksanakannya salah satunya beribadah dengan tekun
serta bisa juga dengna masuk tarekat karena di dalam tarekat akan diajarkan
jalan untuk beribadah serta dekat dengan Allah dan di antara tarekat-tarekat
yang ada salah satunya adalah tarekat Syattariyah yang sejak zaman Nabi sudah
ada, padaera sekarang ini tarekat Syattariyah ini masih cocok untuk
diterapkan dan dianut karana tarekat ini adalah salah satu tarekat yang
muktabarah.
[1]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hal 109
[3]
Ahmad tafsir, kamus tasawuf,
(bandung: Remaja Rosdakarya,2002)Hlm.197
[4]
Ahmad tafsir, kamus tasawuf,
(bandung: Remaja Rosdakarya,2002)Hlm.198
[6]
Sri mulyati, Tarekat-tarekat muktabarah, (Jakarta: Prenda media Group), Hal 174
0 komentar:
Posting Komentar